April 28, 2022

30 Tahun Hidup Sebagai Chindo yang Tidak Cina

 Chindo: Orang Tionghoa-Indonesia (singkatan dari bahasa InggrisChinese Indonesian) adalah salah sebuah kelompok masyarakat di Indonesia[9] yang asal-usul leluhur mereka berasal dari Tiongkok.

**********

Untuk teman-temanku yang membaca tulisan ini, coba ingat-ingat saat kalian pertama kali kenal sama aku, apa kalian menganggap aku orang Cina atau bukan?

Hanya sekedar menerka-nerka, tapi aku agak yakin jawabannya beragam, ada yang iya dan tidak. Kalau teman-temanku yang "betulan chindo" biasanya mereka akan langsung bilang "bukan," tapi untuk yang lain pasti awal mulanya agak yakin tidak yakin. Jadi sebenarnya... Aku ini Chindo atau bukan sih?

Jadi, kenapa status Chindo ku membingungkan? Dan kenapa judul tulisan ini mengandung kata-kata "Chindo yang tidak cina?" Jawabannya sederhana, karena aku adalah seorang keturunan Tionghoa yang tidak pernah dibesarkan sebagai orang Tionghoa-Indonesia.

Sekedar latar belakang, aku merupakan anak blasteran. Jadi berbeda dengan kebanyakan Chinese-Indonesian lainnya yang merupakan generasi ketiga atau keempat dari leluhur mereka yang orang Tionghoa, aku merupakan anak dari perkawinan campuran orang asli Hong Kong (Papa) dan orang Bandung (Mama). Papaku dulunya bekerja di Indonesia lalu kemudian bertemu Mamaku, dan entah bagaimana caranya saat itu; melihat perbedaan usia, latar belakang, dan halangan dalam berkomunikasi; mereka bisa berkolaborasi dan menghasilkan 'mahakarya' berupa aku dan adikku. Tapi yaa, seperti yang aku bilang tadi, karena 'perbedaan-perbedaan' tersebut, pernikahan mereka berakhir saat aku menginjak usia 8 tahun, dan semua "kecinaanku' berakhir pada saat itu, kecuali wajahku.

Lily kecil

Saat masih kecil, jadi berbeda itu sulit. Aku kebetulan bersekolah di sebuah SD Islam swasta, dan stereotip Cina=Non-Islam sangat melekat kuat di kepala anak-anak saat itu. Akupun berusaha menutupi "kecinaanku" dengan berbagai cara: dari menolak secara gamblang hingga mengaku-ngaku sebagai orang Palembang. Kalau diingat-ingat lagi, terdengarnya sangat konyol, tapi itulah kebodohan anak kecil yang berusaha menjadi "sama" seperti lingkungannya agar tidak dikucilkan.

Semakin aku tumbuh besar, seperti yang aku harapkan pula, kecinaanku berkurang sedikit demi sedikit. Awalnya aku tidak menyadarinya, hingga suatu saat di tingkat kedua perkuliahanku, aku punya teman yang sengaja mendekatiku karena 'tertarik' dengan latar belakangku. Dia bilang, "Kamu terlihat Cina, tapi bukan Cina dalam waktu yang bersamaan. Muka kamu memang Cina, tapi dari cara berpakaian, cara bicara, lingkaran pertemanan, kamu sangat bukan Cina." Mendengar hal tersebut, ada sedikit perasaan aneh yang pelan-pelan tumbuh, bukan perasaan positif atau negatif, melainkan kesadaranku tentang identitas diriku sendiri.

Semenjak dari situ, aku yang dulu menutupi fakta tentang latar belakangku pun mulai merasa bangga dengan 'situasi unik' dari etnisku. Aku mulai menaruh nama belakang Papaku di berbagai tempat tak resmi yang membutuhkan nama (seperti alamat surel, alamat sosial media, dll.) Aku mencap diriku sebagai si "Cina-yang-bukan-Cina" dan branding tersebut nampaknya membuatku cukup menarik di berbagai kalangan. Di waktu aku kuliah, banyak teman laki-laki (terutama yang menggemari budaya Asia Timur) yang sengaja mendekatiku karena akhirnya bisa menemukan "Cina yang Islam." Lucu memang dan sedikit miris memang kalau diingat, tetapi Lily muda menikmati perhatian tersebut.

Lalu, saat aku pikir pencarian akan branding etnis aku telah berakhir, di umur dewasa, aku bertemu seorang lagi yang menyadarkan aku tentang kemungkinan branding identitasku yang lain. Di tahun 2019, secara tidak terduga aku bekerja di sebuah perusaan Singapura yang berlokasi di Batam sebagai seorang Digital Marketer. Bosku saat itu adalah seorang bule Jerman yang entah bagaimana ceritanya kami dulu lumayan 'akrab' bermula karena ransel kami sama (cuma ransel Kånken kok, cuma mungkin karena kantor kami di Batam, saat itu tidak banyak orang yang pakai tas Kånken seperti di pulau Jawa). Setelah 6 bulan aku bekerja, bosku tersebut memberikan aku sebuah kepercayaan (baca: tugas baru tambahan) yang garis besar tugasnya adalah untuk mencari partner-partner perusahaan baru di Singapura untuk diajak bekerjasama. Cara beliau meyakinkan aku bisa dibilang, cukup mengagetkan, dan membuatku berpikir banyak tentang hal tersebut. Intinya kalau dipadatkan dan diterjemahkan:

"Saya yakin tugas ini sangat cocok buat kamu. Bisa dibilang, kalau dari yang saya lihat, kamu ini culturally ambiguous. Kalau saya ngga kenal kamu, dan ketemu kamu di luar negeri lalu kita ngobrol, saya ngga akan bisa tebak kamu orang mana. Dari penampilan tentu saya bisa tebak kamu pasti keturunan Asia, tapi selain itu saya ngga bisa tebak secara rinci. Tebakan terbaik saya mungkin kamu orang Singapura yang sekolah di western country, tapi yang pasti, ngga akan ada yang tebak kamu orang Indonesia. Kamu juga terlihat tidak ciut saat berbicara dengan orang asing, tidak seperti kebanyakan orang Indonesia yang saya tahu, dan asal kamu tahu, orang Singapura suka dengan orang-orang seperti itu."

Sekedar info, entah karena aku pernah tinggal di Amerika dulu atau bagaimana, logat bahasa inggris aku 'cukup' bule. Dan karena aku juga banyak membaca buku bahasa Inggris dan menulis, kosa kata aku memang lumayan bagus dibandingkan kebanyakan orang Indonesia. Info lainnya, orang Singapura terkenal suka sama 'angmoh' alias orang bule. Banyak perusahaan Singapura merekrut bule-bule supaya perusahaannya terlihat lebih 'oke.' Nah tapi... Aku kan bukan bule? Nah hal itulah yang sedikit membuat aku sebal dengan pernyataan mantan bosku, meskipun perkataan beliau tadi maksudnya adalah sebuah pujian.

Hal yang bikin aku cukup dongkol adalah, karena pastinya kalau beliau merekrut bule untuk pekerjaan tersebut kan 'mahal' ya, beliau settled dengan the second (atau mungking the third) best option: the culturally ambiguous one. Ya kalau aku kan digajinya rupiah, jadi yaa... pilihan ekonomis lah haha.

Tapi terlepas dari hal tersebut, akupun menemukan pencitraan baru yang bisa aku pakai saat aku di luar negeri: orang keturunan Asia yang tidak terlalu jelas asalnya dari mana. Identitas tersebut ditambah dengan pengetahuanku (yang kebanyakan didapat dari membaca), bikin orang suka menerka kalau aku adalah tukang jalan-jalan yang berpengalaman :p (Padahal aslinya aku hanya penjahit kecil-kecilan dari Bandung! Ha!)

**********

Bagi kebanyakan orang, mungkin identitas diri mereka bukan hal yang sulit untuk ditemukan. Mungkin kebanyakan orang di Indonesia tidak pernah mengalami krisis jati diri seperti yang aku alami selama masa pertumbuhanku (atau sebenarnya banyak ya cuma aku ngga tahu aja hehe). Tapi seperti masalah lain di dalam hidupku, pada akhirnya aku bersyukur punya kesempatan untuk melalui itu semua, karena dari situlah aku bisa mendapatkan berbagai penemuan dan pengetahuan baru yang membuatku semakin "kaya." Sampai sekarang aku belum berhenti berusaha dalam mencoba menemukan sisi diriku yang baru lagi. Aku masih ingin menjadi banyak hal dan masih ingin menjadi orang yang lebih "menarik" lagi.


"Jadi Ly, kamu Cina atau bukan?"

Jawabannya: Aku iya dan juga tidak.

1 comment:

Adityar said...

Yaampun, Lily apa kabar hahaha. Sumpah kayaknya dari dulu blogwalking ke sini sekarang baru tahu sisimu yang ini. Jadi merasa beruntung juga lahir dari kedua orang tua yang bahkan dari suku yang sama, bahkan hanya bertetangga desa jadi tidak pernah bingung dengan identitas keetnisan haha.

Btw kalau tidak membaca tulisanmu ini, aku juga kayaknya tidak akan pernah bisa menebak kalau kamu sebenarnya adalah Chindo. Setauku ya, Lily anak Bandung wkwk.