January 19, 2024

Hidupnya si Janda Muda

 Wow setelah 5 tahun, akhirnya aku bisa dengan santai ngomongin hal ini!

Sebagai konteks, di sini aku pernah menikah di tahun 2016, berpisah di tahun 2019, lalu kemudian bercerai resmi di tahun 2021. Kata "janda" yang digunakan di sini adalah dalam pengertian janda di Bahasa Indonesia yang mana bisa berarti perempuan yang cerai hidup, maupun cerai mati (dalam kasusku tentunya cerai hidup, ya).

Oke sudah jelas harusnya, ayo mulai ceritanya!


June 12, 2022

Bahagia: Pekerjaan Sederhana dan Penemuan Kembali Nilai-Nilai di Dalam Hidupku

 Tadi siang, sambil menggosok kaca jendela di seluruh rumah, tiba-tiba muncul perasaan: "Ya ampun, aku bahagia banget!" Random memang, sambil ngelapin debu kok merasa bahagia? Tapi dari situ akhirnya aku berpikir kalau ketersediaan waktu, energi, dan kemauan untuk membuat tempat aku tinggal menjadi bersih dan nyaman adalah kebahagiaan. Hal ini bisa aku amini, karena pernah ada saat-saatnya aku tidak bahagia dan hal tersebut biasanya tercermin dari tempat aku tinggal yang wujudnya acak-acakkan. Dari pikiran random siang ini pula akhirnya akupun berpikir lebih jauh tentang pencapaianku hingga saat ini, yang walau kalau dari segi resume ya sangat tidak mengesankan, tapi secara kualitas aku bisa katakan 'lumayan,' habis yaa... berapa orang yang kalian kenal sih bisa dengan percaya dirinya berkata kalau mereka bahagia?

Kadang hampir tidak percaya kalau beberapa tahun lalu aku sempat depresi berat. Kalau ditanya sekarang, aku beneran sudah lupa rasanya, tapi aku selalu ingat perkataanku saat itu ke beberapa teman saat rasanya hidup aku sudah tidak ada jalan terang lagi, "Rasanya kok beneran lebih baik kalo aku ngga ada aja ya?" Di saat itu, aku tidur sekitar 14 jam sehari, badan aku penuh dengan cakaran dan bekas gigitan yang secara sadar dan tidak sadar aku lakukan sendiri. Aku sebatang kara, karena antara aku yang dibuang, atau aku yang membuang, saat itu rasanya aku dikutuk untuk selalu jadi orang yang kesepian.

Lalu, bagaimana caranya aku keluar dari semua itu? Saat itu yang terlintas di kepalaku cuma rasanya ingin ganti identitas dan hidup jadi orang lain saja. Tapi yaa, sebagai orang biasa tentu hal tersebut hampir tidak mungkin kan. Makanya aku melakukan hal yang "mirip-mirip" tapi masih dalam kapasitasku: aku pindah jauh dari Bandung, memulai hidup baru sebagai aku yang baru.  Di tahun 2019 aku dengan 2 koper pindah ke pulau Batam dan mengganti panggilanku dari Lily menjadi Livia (ya kalo ganti nama kan agak susah ya, jadi ganti nama panggilan aja haha). Di sana aku memulai hidup yang baru dengan pekerjaan baru yang belum pernah aku lakukan sebelumnya sambil pelan-pelan mencari akar masalah "ketidakbahagiaanku." Setahun di sana aku berusaha membuat diriku menjadi kertas kosong, tabularasa. Nilai-nilai dalam kehidupan aku kaji ulang, mana yang masuk akal menurutku, dan mana yang terbentuk dari konstruksi masyarakat tapi sebetulnya "kurang cocok buatku." Aku mulai lebih banyak bergaul dengan orang-orang dari berbagai tempat (pekerjaanku saat itu mengharuskanku "mengakrabkan diri" dengan partner-partner kerja dari seluruh dunia) untuk memperluas pandanganku tentang kehidupan. Dan, saat rasanya aku sudah menemukan garis besarnya, aku kembali ke kota kelahiranku dan memulai hidup sekali lagi sebagai Lily.

Dengan uang yang kukumpulkan selama satu tahun bekerja di Batam, aku membuat studio jahit kecil di Bandung pada bulan Mei 2020. Awalnya studio kontrakan itu kosong, tapi pelan-pelan saat usahaku mulai berjalan, studiopun mulai terasa seperti rumah. Dari yang tadinya hanya ada satu meja, lalu bertumbuh jadi dua, tiga, empat meja. Dari hanya kasur lipat tipis beli di pasar, kini aku punya kasur nyaman dengan sprei buatan tangan. Dari mencuci dengan bermodalkan ember dan sabun saja, kini aku punya mesin cuci cantik bukaan depan. Hidupku, dibandingkan banyak teman-temanku yang satu angkatan, mungkin terdengarnya tidak mengesankan. Aku hanya tukang jahit dengan penghasilan yang sangat biasa-biasa saja, tidak ada titel keren, tidak ada gelar akademik lain setelah Sarjana Desain yang aku peroleh 7 tahun silam, tidak ada penghargaan bergengsi, tidak punya jenjang karir... Tapi, aku bisa dengan sangat lantang mengatakan bahwa aku sangat bahagia!

Jadi, selama setahun 'bertapa' di Batam itu, apa sih yang sebenarnya aku temukan? Dengan membuat diriku sebagai kertas kosong itu tadi, aku berhasil menyortir hal-hal mana yang memang "membuat aku bahagia" dan hal-hal mana yang "menurut orang-orang akan membuat setiap orang bahagia." Beberapa hal mungkin agak sedikit "sensitif" dan terdengarnya "tidak benar" untuk orang-orang di sini, tapi hei... hal-hal tersebut berhasil membuatku waras dan menghentikan niatku untuk menyakiti diri sendiri.

Aku menyadari kalau sebuah hubungan tidak akan berhasil untukku kalau aku terlalu banyak harus mengorbankan kehidupanku. Aku tidak suka mengurus orang lain, aku tidak suka diurus orang lain, dan aku tidak suka harus berkorban baik secara karir atau cita-cita demi orang lain. Dari situ aku tahu hubungan "tradisional" tidak akan bekerja untukku, aku tidak mendambakan rumah tangga, aku tidak mendambakan keturunan, menurutku hal tersebut hanya konstruksi masyarakat, mungkin iya kebanyakan orang bahagia dengan hal tersebut, tadi tidak buatku.

Aku menyadari kalau sendiri itu jauh lebih baik daripada berhubungan dengan orang-orang yang secara konstan memicu munculnya perasaan-perasaan sedih dan marah. Aku punya hubungan yang kompleks dengan keluargaku, mau apapun yang orang bilang tentang berbakti kepada orang tua ataupun rasa sayang terhadap saudara, hal tersebut bukan untukku. Mungkin kesannya egois, tetapi tahukah kalian berapa kali rasanya aku ingin mengakhiri hidup dulu saat aku bertengkar dengan mereka? Betapa sakit rasanya saat kalian tidak dimengerti dan diperlakukan tidak sesuai dengan yang kalian dambakan? Aku memilih hidup, aku memilih bahagia, maka aku memilih jalan yang tidak biasa ini.

Aku menyadari kalau aku... sangat menghargai pekerjaan-pekerjaan jujur yang sederhana. Kalau kamu berdagang, maka berdaganglah dan dapatkan profit. Jalankan pelan-pelan dengan telaten, tidak perlu buru-buru, tidak perlu "mendisrupsi" atau "mendobrak" apapun. Dari situ aku tahu aku tidak akan pernah lagi bekerja di perusahaan rintisan, ataupun memiliki hubungan dekat dengan orang-orang yang terlalu bersemangat dengan hal-hal semacam itu. Aku suka hal yang sederhana, tidak perlu hingar-bingar di luar, karena hal tersebut bukan untukku.

Selain hal-hal tersebut. masih banyak lagi hal-hal yang aku sadari dalam 'pertapaanku.' Beberapa yang tidak kutulis di sini mungkin rasanya terlalu sensitif untuk dibagikan secara umum (padahal mungkin bagi sebagian orang hal yang aku bagikan di atas pun terdengar cukup 'berani', tapi percayalah masih banyak hal-hal yang lebih 'edan' yang mungkin akupun masih tahu diri untuk tidak tulis di sini).

Perjalananku dari Lily yang dulu ke Lily yang sekarang sangatlah penuh darah dan air mata. Tapi sekarang, dalam sehari, tak henti aku mengucap syukur ke alam semesta. Aku punya tempat yang nyaman dan selalu dinyaman-nyamankan, aku punya pekerjaan kecil yang berarti dan sedikitnya bermanfaat bagi para konsumen-konsumenku, dan yang pasti, aku punya diriku sendiri yang selalu bisa diandalkan dan bangkit lagi setiap aku tersungkur. Iya aku memang sebatang kara, tapi aku tidak sedih dan tidak kesepian, kebalikan dari itu... Aku sangat bahagia :)

Kutipan dari buku: "Selamat Datang, Bulan" oleh Theoresia Rumthe


April 28, 2022

30 Tahun Hidup Sebagai Chindo yang Tidak Cina

 Chindo: Orang Tionghoa-Indonesia (singkatan dari bahasa InggrisChinese Indonesian) adalah salah sebuah kelompok masyarakat di Indonesia[9] yang asal-usul leluhur mereka berasal dari Tiongkok.

**********

Untuk teman-temanku yang membaca tulisan ini, coba ingat-ingat saat kalian pertama kali kenal sama aku, apa kalian menganggap aku orang Cina atau bukan?

Hanya sekedar menerka-nerka, tapi aku agak yakin jawabannya beragam, ada yang iya dan tidak. Kalau teman-temanku yang "betulan chindo" biasanya mereka akan langsung bilang "bukan," tapi untuk yang lain pasti awal mulanya agak yakin tidak yakin. Jadi sebenarnya... Aku ini Chindo atau bukan sih?

Jadi, kenapa status Chindo ku membingungkan? Dan kenapa judul tulisan ini mengandung kata-kata "Chindo yang tidak cina?" Jawabannya sederhana, karena aku adalah seorang keturunan Tionghoa yang tidak pernah dibesarkan sebagai orang Tionghoa-Indonesia.

Sekedar latar belakang, aku merupakan anak blasteran. Jadi berbeda dengan kebanyakan Chinese-Indonesian lainnya yang merupakan generasi ketiga atau keempat dari leluhur mereka yang orang Tionghoa, aku merupakan anak dari perkawinan campuran orang asli Hong Kong (Papa) dan orang Bandung (Mama). Papaku dulunya bekerja di Indonesia lalu kemudian bertemu Mamaku, dan entah bagaimana caranya saat itu; melihat perbedaan usia, latar belakang, dan halangan dalam berkomunikasi; mereka bisa berkolaborasi dan menghasilkan 'mahakarya' berupa aku dan adikku. Tapi yaa, seperti yang aku bilang tadi, karena 'perbedaan-perbedaan' tersebut, pernikahan mereka berakhir saat aku menginjak usia 8 tahun, dan semua "kecinaanku' berakhir pada saat itu, kecuali wajahku.

Lily kecil

Saat masih kecil, jadi berbeda itu sulit. Aku kebetulan bersekolah di sebuah SD Islam swasta, dan stereotip Cina=Non-Islam sangat melekat kuat di kepala anak-anak saat itu. Akupun berusaha menutupi "kecinaanku" dengan berbagai cara: dari menolak secara gamblang hingga mengaku-ngaku sebagai orang Palembang. Kalau diingat-ingat lagi, terdengarnya sangat konyol, tapi itulah kebodohan anak kecil yang berusaha menjadi "sama" seperti lingkungannya agar tidak dikucilkan.

Semakin aku tumbuh besar, seperti yang aku harapkan pula, kecinaanku berkurang sedikit demi sedikit. Awalnya aku tidak menyadarinya, hingga suatu saat di tingkat kedua perkuliahanku, aku punya teman yang sengaja mendekatiku karena 'tertarik' dengan latar belakangku. Dia bilang, "Kamu terlihat Cina, tapi bukan Cina dalam waktu yang bersamaan. Muka kamu memang Cina, tapi dari cara berpakaian, cara bicara, lingkaran pertemanan, kamu sangat bukan Cina." Mendengar hal tersebut, ada sedikit perasaan aneh yang pelan-pelan tumbuh, bukan perasaan positif atau negatif, melainkan kesadaranku tentang identitas diriku sendiri.

Semenjak dari situ, aku yang dulu menutupi fakta tentang latar belakangku pun mulai merasa bangga dengan 'situasi unik' dari etnisku. Aku mulai menaruh nama belakang Papaku di berbagai tempat tak resmi yang membutuhkan nama (seperti alamat surel, alamat sosial media, dll.) Aku mencap diriku sebagai si "Cina-yang-bukan-Cina" dan branding tersebut nampaknya membuatku cukup menarik di berbagai kalangan. Di waktu aku kuliah, banyak teman laki-laki (terutama yang menggemari budaya Asia Timur) yang sengaja mendekatiku karena akhirnya bisa menemukan "Cina yang Islam." Lucu memang dan sedikit miris memang kalau diingat, tetapi Lily muda menikmati perhatian tersebut.

Lalu, saat aku pikir pencarian akan branding etnis aku telah berakhir, di umur dewasa, aku bertemu seorang lagi yang menyadarkan aku tentang kemungkinan branding identitasku yang lain. Di tahun 2019, secara tidak terduga aku bekerja di sebuah perusaan Singapura yang berlokasi di Batam sebagai seorang Digital Marketer. Bosku saat itu adalah seorang bule Jerman yang entah bagaimana ceritanya kami dulu lumayan 'akrab' bermula karena ransel kami sama (cuma ransel Kånken kok, cuma mungkin karena kantor kami di Batam, saat itu tidak banyak orang yang pakai tas Kånken seperti di pulau Jawa). Setelah 6 bulan aku bekerja, bosku tersebut memberikan aku sebuah kepercayaan (baca: tugas baru tambahan) yang garis besar tugasnya adalah untuk mencari partner-partner perusahaan baru di Singapura untuk diajak bekerjasama. Cara beliau meyakinkan aku bisa dibilang, cukup mengagetkan, dan membuatku berpikir banyak tentang hal tersebut. Intinya kalau dipadatkan dan diterjemahkan:

"Saya yakin tugas ini sangat cocok buat kamu. Bisa dibilang, kalau dari yang saya lihat, kamu ini culturally ambiguous. Kalau saya ngga kenal kamu, dan ketemu kamu di luar negeri lalu kita ngobrol, saya ngga akan bisa tebak kamu orang mana. Dari penampilan tentu saya bisa tebak kamu pasti keturunan Asia, tapi selain itu saya ngga bisa tebak secara rinci. Tebakan terbaik saya mungkin kamu orang Singapura yang sekolah di western country, tapi yang pasti, ngga akan ada yang tebak kamu orang Indonesia. Kamu juga terlihat tidak ciut saat berbicara dengan orang asing, tidak seperti kebanyakan orang Indonesia yang saya tahu, dan asal kamu tahu, orang Singapura suka dengan orang-orang seperti itu."

Sekedar info, entah karena aku pernah tinggal di Amerika dulu atau bagaimana, logat bahasa inggris aku 'cukup' bule. Dan karena aku juga banyak membaca buku bahasa Inggris dan menulis, kosa kata aku memang lumayan bagus dibandingkan kebanyakan orang Indonesia. Info lainnya, orang Singapura terkenal suka sama 'angmoh' alias orang bule. Banyak perusahaan Singapura merekrut bule-bule supaya perusahaannya terlihat lebih 'oke.' Nah tapi... Aku kan bukan bule? Nah hal itulah yang sedikit membuat aku sebal dengan pernyataan mantan bosku, meskipun perkataan beliau tadi maksudnya adalah sebuah pujian.

Hal yang bikin aku cukup dongkol adalah, karena pastinya kalau beliau merekrut bule untuk pekerjaan tersebut kan 'mahal' ya, beliau settled dengan the second (atau mungking the third) best option: the culturally ambiguous one. Ya kalau aku kan digajinya rupiah, jadi yaa... pilihan ekonomis lah haha.

Tapi terlepas dari hal tersebut, akupun menemukan pencitraan baru yang bisa aku pakai saat aku di luar negeri: orang keturunan Asia yang tidak terlalu jelas asalnya dari mana. Identitas tersebut ditambah dengan pengetahuanku (yang kebanyakan didapat dari membaca), bikin orang suka menerka kalau aku adalah tukang jalan-jalan yang berpengalaman :p (Padahal aslinya aku hanya penjahit kecil-kecilan dari Bandung! Ha!)

**********

Bagi kebanyakan orang, mungkin identitas diri mereka bukan hal yang sulit untuk ditemukan. Mungkin kebanyakan orang di Indonesia tidak pernah mengalami krisis jati diri seperti yang aku alami selama masa pertumbuhanku (atau sebenarnya banyak ya cuma aku ngga tahu aja hehe). Tapi seperti masalah lain di dalam hidupku, pada akhirnya aku bersyukur punya kesempatan untuk melalui itu semua, karena dari situlah aku bisa mendapatkan berbagai penemuan dan pengetahuan baru yang membuatku semakin "kaya." Sampai sekarang aku belum berhenti berusaha dalam mencoba menemukan sisi diriku yang baru lagi. Aku masih ingin menjadi banyak hal dan masih ingin menjadi orang yang lebih "menarik" lagi.


"Jadi Ly, kamu Cina atau bukan?"

Jawabannya: Aku iya dan juga tidak.

April 23, 2022

Trip Wibu ke Singapura; Jalan-Jalan ke Luar Negeri Pertama Setelah Pandemi

 Jadi beberapa minggu yang lalu aku dan dua temanku jalan-jalan ke Singapura. Dan tentu saja sebagai mantan warga Batam, tidak ada yang spesial dari agenda Lily jalan-jalan ke Singapura, sudah 'biasa' lah hitungannya. Jadi aku berpikir daripada menulis tentang "Trip Lily ke Singapura", nampaknya akan lebih faedah menulis tentang pengalaman pertama kali pergi ke luar negeri lagi setelah pandemi, dan itulah yang akan aku tulis.

Rencana kami pergi ke Singapura ini, seperti yang tertulis di judul, tujuannya utamanya adalah mau "ngewibu." Pandemi kebetulan membuat aku dan teman-temanku jadi keranjingan cowok-cowok gepeng, dan kebetulan di bulan Februari hingga Juli 2022 di Singapura diadakan pameran Attack on Titan (AoT). Meskipun sejujurnya aku lumayan ilfil dengan anime karena kesannya dipanjang-panjangin (final season kok sampai 3 bagian...) tapi sejujurnya aku lumayan menggemari manganya. Berbekal rasa penat 2 tahun ngga traveling dan hasrat ingin melihat karya Hajime Isayama (pengarang AoT), akhirnya kamipun mempersiapkan agenda jalan-jalan ini dengan lumayan rapi dan terstruktur. Kalau kalian ada ancang-ancang mau jalan-jalan baik ke Singapura atau beberapa negara lain, mungkin hal yang perlu disiapkan lumayan mirip, jadi silakan dibaca jika berkenan.


1. Beli tiket pesawat

Hal pertama yang esensial kalau mau jalan-jalan ke negara yang ngga butuh visa atau buat visanya pasti berhasil adalah: beli tiket pesawat. Di akhir maret kemarin kebetulan ada promo tiket gledek dari tiket.com dan kami kebetulan-- setelah melalui banyak drama-- berhasil mendapatkan tiket promo Singapore Airlines PP dengan harga sekitar 1,7jutaan saja. Sebenarnya sih, naik maskapai budget juga bisa, tapi kebetulan kemarin bedanya hanya beberapa ratus ribu saja, jadi ya dipikir-pikir ngga apa-apalah sekali-sekali naik yang fancy hehe. Oiya sekarang naik maskapai apapun, asalkan vaksinasi kalian sudah lengkap, ngga harus ada tes lagi begitu sampai, jadi bisa langsung jalan-jalan.


2. Pesan hotel

Hal yang penting kedua, semua orang juga sudah tahu. Sekarang ini kebetulan mau hotel ataupun hostel apapun sudah tidak masalah karena kita tidak perlu tes dan karantina lagi saat tiba di Singapura. Kami kebetulan jalan-jalan bertiga jadi cari kamar yang bisa bertiga.


3. Booking-booking lainnya

Oke jadi kami benar-benar persiapan matang rencana di sana mau ngapain aja sehingga untuk beberapa tempat yang akan dikunjungi kami betulan book dulu dari Indonesia. Jadi karena kami mau lihat pameran Attack on Titan dan kebetulan tiketnya bisa dibeli online, jadi untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, tiket dibeli dari jauh-jauh hari.

Selain itu kebetulan di Aniplus Cafe Singapore temanya juga sedang Attack on Titan, dan memang untuk datang ke kafe tersebut kami harus booking waktu dan hari, dan karena kami mendedikasikan trip tersebut untuk ngewibu, tentu booking kafe pun kami lakukan.

Kalau kalian mau jalan-jalan dan sudah tahu salah satu atau salah dua itinerary-nya dan kebetulan hal-hal tersebut bisa booking online, sungguh tidak ada salahnya dipersiapkan menurutku.


4. Beli asuransi

Jadi sebenarnya, per April 2022, jalan-jalan ke Singapura sudah tidak wajib punya asuransi COVID. Tapi, waktu itu kami berpikir untuk jaga-jaga, siapa tau amit-amit positif di sana, kami ada "safety net." Bayangkan lah kalau harus isoman di Singapura modalnya kan pasti lumayan, kamu ngga mau pulang jadi miskin kalau hal tersebut terjadi, jadi kami tetap beli asuransi COVID. Asuransi yang kami beli kebetulan murah banget, untuk aku yang berusia 30 tahun dan rencana jalan-jalan yang cuma 4-5 hari di SG, aku dapat harga sekitar Rp 140.000,- saja dari AIG. Mungkin asuransinya ngga yang gimana-gimana banget, atau bare minimum saja, tapi kami rasa cukuplah. Yang penasaran kami beli asuransinya di sini.

Sebelum jalan-jalan mungkin bisa cek negara mana saja yang mengharuskan asuransi COVID (terakhir cek Thailand juga butuh), dan menurutku kalau harganya masih masuk akal, ngga ada salahnya jaga-jaga, apalagi kalau yang traveling dalam waktu singkat dan harus dites covid beberapa kali dalam kurun waktu tersebut (pergi dan pulang).


5. Isi kartu kedatangan negara tujuan

Peraturan dari Singapura, sebelum sampai di sana kita harus submit kartu kedatangan alias arrival card. Kartu kedatangan ini bisa diisi maksimal 3 hari sebelum tiba di sana dan minimal ketika kita tiba sebelum kita melewati custom. Isinya hanya data-data standar seperti nama, nomor paspor, hotel tempat kita tinggal, dll. Tapi selain itu kita juga harus unggah sertifikat vaksi terakhir, dan untuk vaksin ini, kalau vaksin pertama dan kedua kamu Sinovac, kamu harus sudah booster alias terima dosis ketiga (kalau yang pertama dan keduanya AZ/Moderna/Pfizer, 2 dosis saja cukup). Kalau vaksinasi belum lengkap yaa... Sampai sana harus karantina dulu.


6. Tes COVID

Jadi, ini hal yang agak menarik untuk dibahas. Untuk memasuki negara Singapura, kita hanya butuh hasil antigen. Ngga penting antigen yang murah atau yang agak mahal sedikit, ngga masalah, semua bisa dipakai. Jadi pas pergi, kita cuma tes antigen yang Rp 100.000,- saja dan hanya dicek di bandara Indonesia saat kita mau cetak boarding pass (pas sampai sana ngga dicek, bahkan di custom ya cuma lihat paspor saja haha).

Nah tapi, saat kita mau pulang kita Indonesia, peraturan dari negara kita tercinta ini mengharuskan kita untuk bawa hasil PCR, yang mana artinya kita harus PCR di Singapura. Perlu diperhatikan bahwa tes PCR di Singapura, kita ngga bisa walk in seenaknya, jadi 1-2 hari sebelum kita mau tes, kita harus booking online dulu. Yang perlu diperhatikan lagi, hasil PCR itu keluarnya 1 hari setelah tes dan tes hanya berlaku 2x24 jam sebelum kedatangan kita ke Indonesia, jadi hal ini yang harus direncanakan banget. Btw, PCR di Singapura itu mahal, harga termurah yang kami dapat itu adalah S$88 jadi mungkin dari trip kali ini, cuma biaya PCR ini yang menyebalkan haha. Oiya harga tersebut udah yang paling murah, kami booking di situs ini.

Yah harapannya sih semoga ke depannya peraturan PCR ini diganti jadi antigen aja supaya ngga terlalu memberatkan traveler-traveler kere seperti kami ini haha.


Selain itu apalagi yaa... Udah sih. Pas kalian sudah sampai, kalian bisa lihat kalau yaa orang-orang di sana juga sudah agak relax dengan segala per-pandemi-an ini. Masker sih iya, semua orang tentunya pada pakai, dan beberapa tempat memang harus reservasi di awal untuk bisa datang tapi selain itu ya sama sajalah seperti di Indonesia. Corona sekarang sudah seperti bagian dari hidup kita lah, jadi jangan lengah tapi jangan terlalu takut juga, yang mau jalan-jalan kalau memang situasi kondisinya memungkinkan, kenapa nggak?

Sebelum mengakhiri tulisan (yang semoga berfaedah) ini, berikut aku beri bonus foto-foto waktu ngewibu di pameran dan di kafe.


Ps: PAMERANNYA BAGUS BANGET MAU NANGIS. Kalian beneran bisa lihat manuscript asli komik Attack on Titan, panel komik yang di 3D animasikan, dll. Bagus banget, baguuuuus banget! Tiket masuknya cuma sekitar Rp 220.000,- saja, benar-benar worth!

Pss: Kalo kafenya yaa... biasa aja sih sejujurnya. Kami cuma pesan minuman yang visualnya ngga ada AoT nya sama sekali dan harganya yaa lumayan untuk sirup bersoda. Satu-satunya hal yang bikin aku happy ke kafenya cuma karena bisa foto sama real life size cutout nya Reiner aja udah wkwkwk.







"Tatakae~ tatakae~" --Eren Yeager


Ini Aniplus Cafe edisi AoT


Bonus foto aku sama Mang Reiner~