January 19, 2024

Hidupnya si Janda Muda

 Wow setelah 5 tahun, akhirnya aku bisa dengan santai ngomongin hal ini!

Sebagai konteks, di sini aku pernah menikah di tahun 2016, berpisah di tahun 2019, lalu kemudian bercerai resmi di tahun 2021. Kata "janda" yang digunakan di sini adalah dalam pengertian janda di Bahasa Indonesia yang mana bisa berarti perempuan yang cerai hidup, maupun cerai mati (dalam kasusku tentunya cerai hidup, ya).

Oke sudah jelas harusnya, ayo mulai ceritanya!


Jadi awalnya, kenapa menikah?

Saat itu aku baru lulus kuliah dan mulai ketar-ketir dalam menjalani hidup. Alasan sederhananya ya karena aku dilahirkan di keadaan keluarga yang sangat tidak harmonis dan sangat tidak mampu, jadi seumur hidupku (iya bahkan sampai sekarang), mode yang kugunakan sehari-hari adalah mode bertahan hidup. Jadi saat mantanku (yang CEO startup itu) menyatakan ketersediannya menikahi aku, tentu aku sanggupi. Dalam bayanganku, hidup dengan orang yang terlihat "mampu" tentunya tidak akan sesulit hidup sendiri dengan segala keterbatasanku. Aku berpikir dengan menikahpun tidak akan menghambat potensiku untuk mencari jati diri sendiri sehingga di awal aku tidak melihat cacat dalam teoriku ini.

Aku akui di awal, aku memang tidak secara detail membicarakan peran apa yang akan kami ambil setelah menikah. Tidak pula ada pembicaraan perihal nafkah dan kewajiban dari pihak satu maupun yang lain. Dan entah mungkin karena aku masih tergolong muda saat itu (24 tahun), aku belum secara yakin kepikiran apakah aku menginginkan keturunan atau tidak.

Dan di situlah letak kesalahanku (secara adil, mungkin hal ini juga merupakan salah mantanku, sama-sama salah lah intinya).

Selama kurang lebih 3,5 tahun pernikahan, kami jarang ribut. Aku punya tendensi untuk memendam permasalahan kecil dan ini adalah sebuah bom waktu yang akhirnya meledak. Intinya aku hanya merasa pernikahan tersebut tidak ada "untungnya" buatku. Sama seperti sebelum aku menikah, aku tetap harus cari uang sendiri dan beli barang-barang pribadi dengan uang sendiri, tapi bedanya... saat menikah aku jadi harus "mengurus orang lain." Okelah mengurus suami memang salah satu kewajiban istri, tapi aku merasa tidak mendapatkan kompensasi yang pantas dari semua usahaku tersebut. Yang juga buat aku panas saat itu adalah, selama 3,5 tahun mantanku tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah barang secuil pun (mungkin ya memang begitulah tradisi di rumahnya -- laki-laki tidak mengerjakan pekerjaan rumah), belum lagi secara standar kebersihan dan kerapihan kami berbeda. Di akhir aku menyampaikan kemarahanku akan hal tersebut dan beliau berjanji akan memperbaiki diri, tapi aku sudah di ujung kesabaran.

Selain itu juga dikarenakan usia pernikahan yang sudah memasuki tahun ke-3 membuatku selalu dirongrong pertanyaan "Kapan punya momongan?" Kami sebetulnya sepakat untuk tidak dulu punya anak (ya karena uangnya juga tidak ada), tapi yang menyebalkan adalah, ketika aku yang selalu ditanya oleh keluarganya perihal keturunan, beliau tidak pernah 'membelaku' padahal keputusan tersebut kita ambil bersama. Lalu kemudian di penghujung pernikahan kami, aku menyadari bahwa aku tidak akan pernah siap untuk memiliki anak di kehidupan ini.

Berdasarkan alasan-alasan di atas (ditambah perbedaan cara pandang dalam beberapa hal dan masalah-masalah lain yang terlalu panjang untuk dijabarkan), aku pada akhirnya memutuskan untuk menyerah dengan pernikahan tersebut.


Beberapa bulan (bahkan mungkin tahun) setelah perpisahan tersebut, aku tenggelam ke dalam depresi yang berputar-putar. Aku merasa tidak layak dan lelah dengan semua masalah dalah hidupku (yang dari awalnya saja sudah berat). Beruntung aku punya segelintir teman-teman yang sangat setia dalam mendampingiku sehingga pelan-pelan akhirnya aku bangkit kembali.

Akupun kembali bekerja dan kembali ke dalam kehidupan bermasyarakat. Aku ingin membuktikan teoriku bahwa mengurus diri sendiri itu jauh lebih mudah. Dan hal tersebut adalah benar adanya. Setelah berpisah, aku bisa jadi lebih fokus bekerja dan menghasilkan uang yang kemudian aku gunakan untuk meningkatkan taraf kehidupanku. Tempat tinggalku jauh lebih nyaman, lega, dan rapi saat aku tinggal sendiri. Aku bisa lebih fokus dengan keinginan dan kebahagianku, dan itu adalah hal yang sangat aku nikmati dan syukuri.

Tapi apakah betul aku memang lebih bahagia sendirian?

Tentu ada kalanya (dan ini sering) aku merasa kesepian karena tidak memiliki orang terdekat dalam hidup. Tapi pastinya ketakutan akan kegagalan itu ada, sehingga hal tersebut sering kali membuatku enggan untuk menerima orang baru dalam kehidupanku. Akupun memutuskan untuk tidak menjadikan hal tersebut fokus dalam keseharianku dan lebih mengarahkan pikiranku untuk meningkatkan kapasitas diri pribadi saja. Selain itu aku juga sibuk refleksi ke dalam, melihat dan menelaah apa yang sesungguhnya aku inginkan.

Selama 5 tahun ini aku berpikir dan mempelajari diriku sendiri lagi. Kalau mencari teman hidup, kualitas apa yang aku cari? Apa kekuranganku yang aku sadari saat di dalam rumah tangga kemarin? Aku sungguh-sungguh menganalisa pelan-pelan karena aku tidak mau terjerumus ke lubang yang sama. Dan akhirnya setelah 5 tahun aku menyadari, aku hanya akan bisa hidup bersama orang yang masuk ke dalam kriteria ketat yang aku susun. Intinya adalah, aku tidak akan mau hidup bersama orang lain yang bakal membuat hidupku lebih susah, lebih repot, lebih capek. Aku mau seorang pasangan yang akan membuat hidupku lebih mudah dan begitupun sebaliknya.

Sambil mencari, akupun terus berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. Aku percaya bahwa saat suatu hari nanti aku menemukan orang yang cocok, aku harus berada di dalam kondisi yang prima. Aku mau lebih pintar lagi dari ini, lebih sehat, punya lebih banyak keahlian, dan tentunya lebih menarik... Dengan bekal pikiran tersebut, akupun menjalani hidup ini sebagai "Lily yang keren."

Saat ini aku relatif bahagia; punya pekerjaan kecil yang dihargai, punya banyak hobi yang membuat hari-hariku tidak pernah bosan, punya teman-teman baru dan lama yang sama-sama menyenangkan... Dan ini semua berhasil aku raih karena aku pernah mengambil keputusan berat, keputusan yang pada awalnya banyak dicemooh dan disayangkan orang-orang.

Akhir kata, "Always choose yourself."


Xx,

Lily


No comments: