March 6, 2012

The value of life

"Cita-cita kamu apa?"
"Aku mau jadi dokter, enak kan jadi dokter, gajinya gede, pasti kaya."


Dan aku menemukan kalau arti hidup tidak seremeh itu.

**********

Aku tumbuh tanpa mempunyai cita-cita yang tetap dan pasti. Waktu aku SD, aku ingat pernah bercita-cita menjadi seorang arkeolog karena waktu itu aku begitu menyukai pelajaran sejarah. Tapi cita-cita itu hanya bertahan sebentar, penyebabnya? Aku mungkin sudah mulai terkotori pikiran-pikiran 'orang dewasa', Ibu menanggapi cita-citaku waktu itu dengan berkata "Mau ngapain jadi arkeolog? Mau ngegali borobudur? Gajinya berapa tuh..."

Semenjak itu semua cita-cita labilku didasarkan oleh ke-bonafid-an pekerjaan tersebut dan besar tidaknya penghasilan yang didapat. Aku pernah bercita-cita jadi seorang duta besar, dokter, sampai gubernur Bank Indonesia. Tapi toh semua cita-cita itu bukan sepenuhnya 'hasrat'ku, sehingga bahkan keberadaan dari cita-cita itu hanya sekedar lewat-lewat saja, ya kalau bisa dibilang angin-anginan lah. Akhirnya kerap kali aku bingung jika ditanya "Apa cita-cita kamu?" Aku selalu mejawab sekenanya, dan seringkali aku menjawab "Mau jadi tukang foto kopi." Alasannya? Aku mencintai mesin cetak, aku suka menjilid, dan sangat terpesona dengan mesin laminating, yah mungkin bukan cita-cita besar, mungkin bukan cita-cita juga, karena aku sebetulnya mungkin bukan ingin jadi tukang foto kopi, tetapi sekedar ingin memiliki 'mesin-mesin' canggih tersebut sendiri.

Sewaktu aku masih mendewa-dewakan pekerjaan bonafid bergaji tinggi, aku adalah orang yang bisa dibilang study oriented. Aku berjuang menjadi yang terbaik di sekolah dan bahkan di organisasi yang sebetulnya tidak begitu aku cintai karena aku ingin menjadi seorang 'anak emas', yang aku yakini, aku harus pintar, kuliah di jurusan yang 'sulit', dapat pekerjaan keren, jadi kaya, dan hidup berbahagia.

Tapi toh pada akhirnya aku sadar, hidup bukan cuma sekedar materi. Hidup bukan hanya sekedar menjadi pintar.

Maka di saat aku sadar akan itu semua, aku berusaha menggali diriku,
"Apa sih yang sesungguhnya aku minati?"
Dan aku menemukan kata 'seni'. Karena itulah aku banting setir dan memutuskan untuk mengambil seni rupa sebagai pilihan hidupku. Banyak yang menyayangkan dan menganjurkan aku untuk memilih jurusan yang terdengar lebih menjanjikan, tapi toh aku kekeuh memilih seni rupa. Tapi ternyata seni juga masih terlalu luas, aku yang dulu beranggapan aku 'bertalenta' di segala jenis tentang seni-menyenipun mulai sadar, aku bukan seorang yang jenius, aku harus menggiati hal yang terspesialisasi, dan pada akhirnya aku memilih 'craft' sebagai jalan hidupku. Beruntung aku sadar di waktu yang tepat. Dan saat ini, apabila ada yang bertanya perihal cita-citaku, maka aku akan dengan percaya diri menjawab, "Aku mau menjadi seorang dosen seni rupa di bidang kriya."

Dosen? Kenapa?

Mungkin menjadi seorang pengajar tidak begitu menjanjikan uang yang banyak, tapi aku percaya, hidup harus ada artinya, kita mungkin bisa menjadi pintar sendiri, kaya sendiri, hidup aman-aman saja, baik-baik saja, tapi toh apa value kita sebagai manusia?

Life is just once, and we have to alive our life.

Pilihlah jalan hidup sesuai passion kita, jadilah berguna buat orang lain, kalau kita begitu mencintai bidang yang kita geluti tersebut, aku yakin sukses akan mengiringi dari belakang.

Sekian.

4 comments:

gerhana nurfarahhim said...

so much inspiring lily ! :) thank you..

Fahrizi Noer Fajar Azman said...

Uhmmmmm... kak lily.. saya juga masih bingung nih mau jadi apa... ada dilema: antara milih dunia seni gambar sama seni sastra. Heua....

serba salah.. mungkin dengan seiring berjalan nya waktu saya bisa menemukan jalan yang terbaik..

amin.. :)

Livia "Lily" Meilani said...

@gerhana : sama-sama :) makasih juga ya udah baca :DDD

@fahrizi : iya kamu kan masih muda, waktu seumur kamu juga aku masih belum nemuin passion aku kok :D yang pasti turutin kata hati kamu aja oke? :DD

Anonymous said...

kak jadi kuliah dimana